kabar umat

segera hadir: koran mingguan
kabar umat

Selasa, 22 Februari 2011

Dr. Syafi'i Antonio: Didik anak dengan Ekonomi Syariah

Safai’i Antonio
Menumbuhkan Jiwa enterprener dalam diri Anak
Segala hal yang berkaitan dengan pengasuhan dan pembinaan di keluarga itu harus diawali dengan ketentuan agama. Maka dalam mendidik anak itu pun harus dengan syariah. Dengan begitu, lingkungan keluarga sebagai lingkungan dasar anak harus tercipta kondusif dan nyaman dan terbiasa dengan hal-hal yang islami.
Sebagaimana saya mengajarkan syariah dalam ekonomi yang diterapkan di keluarga. Bagaimana segala sesuatu yang dikonsumsi, dipakai dan dimiliki itu harus dari hasil yang halal. Bahkan, dalam menjalani semua kegiatan pun harus berorientasi halal seperti kegiatan membaca buku dan menonton teve. Intinya, mendorong anak-anak untuk mengenal dan membiasakan tentang hal yang halal.
Selanjutnya, anak diberi pemahaman bahwa suatu yang halal itu akan menimbulkan keberkahan. Halal akan menimbuklan hubungan keluarga yang harmonis, karena biasanya kalaau harta itu tidak halal, maka keberkahan tidak ada. Hubungan suami isteri banyak cekcok, anak-anak jadi bandel.
Karena halal itu perlu proses, kadang-kadang juga perlu kesabaran. Maka sang isteri harus sabar manakala suami belum berhasil. Suami pun dalam mencari nafkah harus all out, kerja keras, karena karena usaha suami asal-asalan hasil pun tidak akan maksimal. Dalam kondisi ini, diperlukan pondasi keluarga yaitu keimanan dan ketaqwaan.
Maka Menerapkan ekonomi syariah di keluarga mengandung arti bisa merubah paradigma. Bila orangtua menekankan anaknya menjadi pegawai negeri, secara syariah sudah salah. Sebab Rasul pun mengajarkan umatnya untuk menjadi pengusaha.
Ada banyak manfaat bila paradigma berwirausaha tertanaman dalam keluarga. Kenapa begitu? Bisa dibayangkan kalau semua lulusan sekolah mendapatkan kerja, kalausemua berpikir demikian, lalu siapa yang akan menampungnya. Tapi ketika kita berorientasi menjadi pengusaha walaupun kecil, nanti akan terbentuk kebutuhan karyawan, walaupun memang tidak semua berhasil.
Tapi setidaknya, ketika berjiwa wirausaha akan ada jiwa berhemat, karena siapa pun pengusaha itu harus berhemat mikirin gaji karyawan di akhir bulan. Ketika menjadi jiwa enterprener, hal-hal yang tidak perlu seperti listrik atau ase yang tidak digunakan terus menyala harus cepat dipadamkan, karena dia berpikir akhir bulan dirinya harus membayarnya.
Ada perbedaan dari segi mentality antara jiwa karyawan dan pengusaha. Jiwa pengusaha itu kalau mendapatkan income dia tidak lantas menghabiskan uang dengan hal-hal yang orientasi konsumtif, melainkan berhemat dam menabung untuk untuk mengembangkan usaha.
Itulah yang perlu ditumbuhkan dalam jiwa anak. Anak harus diberi pemahaman bahwan mencari uang itu tidak mudah. Sebagai tanda sayang kepada anak-anak itu kita harus memberi pemahaman sederhana bahwa mencari uang itu tidak mudah. Menumbuhkan pengertian sederhana ini kepada anak memang tidak mudah, kita memerlukan perjuangn keras untuk ini.
Ada istilah financial planning yang perlu ditumbuhkan dalam diri anak. Misalnya, dalam hal pakaian, apabila sekiranya baju yang dimiliki kakak masih layak dipakai adik tidak salah diterapkan pemahamansederhana ini pada anak.
Contohnya, kakak memberikan pemahaman kepada adiknya, “Adik. Jangan selalu minta terus kepada ayah, ayahkan gajinya terbatas, kalau mau pakai baju, bekas kaka aja kan masih bagu. Hal sederhana ini sangat baik tertanam dalam diri anak-anak. Jadi ekonomi syariah dalam keluarga itu tidak harus didefinisikan begitu teoritis, jelimet tapi harus sederhana.
Strategi di rumah harus punya anggaran. Rumah itu seperti perusahaan. Harus ada anggaran pendapat dan belanja. Jadi harus dianggarkan. Semua kebutuhan rumah tangga harus memiliki anggraan yang jelas dan pasti. Mulai dari kebutuhan dasar, pangan, kesehatan, zakat, infak, sampai pada urusan biaya ngasih kado ke temen anak pun harus dibuat anggarannya.
Mengaloaksikannya dengan baik, semakin baik. Yangkedua, kita harus emnjadi teladan untuk berhemat, bekerja keras dan peduli dengan hgal yang hahal. Ga usah banayk teiori tapi langsung dengan paraktek seperti ade harus banyak menambung, sediakan celengan lalu berikan uangnya untuk dimasukin ke celengan oleh anak kita.
Parenting itu kan intinya ketauladan orangtua kepada anaknya. Makanya orangtua harus banyak membaca buku-buku inspirasi, motivasi, enterprenership, ikut seminar. Hal ini akan orientasi orangtua yang lain, bagaimana menjadi orangtua yang bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya. Dan orangtua akan lebih cerdas memberikan pengasuhand an pendidikan kepada anaknya.
Keteladanan orangtua harus mulai dari a sampai z. artinya selain teladan dalam urusan ibadah, anak juga harus diberi ketaladana dalam segala hal. ANak yang cerdas, anak yang berjiwa sederhana dan berhemat, anak yang mandiri, anak yang pekerja keras, dll. Ahmad

Senin, 21 Februari 2011

mendidik Anak di "dunia anak" Astri Ivo

Astri Ivo
Anak adalah amanah yang harus kita jaga dengan baik. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Quu anfusakum wa ahliikum naaron”. Dengan begitu, tugas orangtua dalam mendidik anak-anak tidak saja menghantar mereka sampai di wisuda, tapi sampai ke pintu gerbang surga.
Anak-anak harus didik secara Islami. Mengenal siapa Tuhan dan Rasul-Nya, memahami pengetahuan agama yang luas, dan inilah cikal bakal dari pendidikan anak yang sebenanrnya. Subhanallah, dalam agama Islam tidak mengenal kata terlambat. Saya sendiri, paham soal ini ketika anak saya sudah tiga. Tapi bukan berarti tidak ada solusi. Kalau kita berusaha menjadi manusia takwa, pasti Allah Swt. akan membuka jalan keluar.
Ayah dan ibu harus memiliki motivasi dan kebahagiaan dalam memberikan pengasuhan dan pendidikan untuk kepentingan anak di dunia dan diakherat kelak. Salah satu kewajiban orangtua bagi anak-anaknya adalah menjamin penghidupan yang layak, tapi yang mutlak adalah mampu melindungi anak-anak dari api neraka.
Lebih dari itu, orangtua harus visioner dalam mendidik anak. Kalau perlu sampai anak-anak memasuki bahtera rumah tangga. Bukan untuk bermaksud intervensi atau ikut campur, tapi anak, baik untuk laki-laki maupun perempuan harus diajarkan secara syari dalam proses mencari jodoh, bagaimana menjadi ibu dan ayah yang sesuai ajaran agama. Sebagaimana yang di terangkan dalam surat An-Nur “laki-laki sholeh untuk wanita sholehah”.
Memang rezeki, jodoh dan kematian itu takdir Allah. Tapi sudah fitrah manusia untuk berikhtiar menjalani hidup yang lebih baik. Karena rizqu min haitsu la yahtasib. Rizki muncul dari arah yang tidak disangka-sangka. Tugas kita adalah melakukan kewajiban kepada Allah, , maka hak-hak kita akan dipenuhi. Bayangkan, jangankan kita berdoa, minta sama Allah. Kita tidak minta pun, Allah sudah memberikan kita banyak. Jadi mendidik anak ini adalah bagian dari upaya kita menjalankan perintah-Nya, maka kita harus melakukankannya dengan sungguh-sungguh dan berdasarkan ilmu.
Memang perlu kita renungi, bahwasannya budaya pengasuhan warisan zaman dulu, tidak pernah atau sedikit sekali orangtua yang mempersiapkan anaknya menjadi calon ibu atau ayah. Padahal tugas ayah dan ibu menjadi sangat utama untuk mebentuk generasi Islam yang sesuai dengan Islam. oleh karenanya, ada perintahnya Iqra’, membaca. Tapi sayang, sebagian orang menganggap iqro ini hanya sebuah metode membaca Al-Qur’an. Padahal iqro’ ini sebuah perintah yang utama yang mana kita harus mampu membaca ayat kauniyah dan qouliyah.
Contoh kecil, seperti fenomena menutup aurat. Ini kan bukan mau kita, tapi maunya Pencipta kita. Kenapa ada batasan aurat? Ini yang harus kita pahami. Karena itu anak harus pintar. Inilah yang sebetulnya makna perintah iqra. Dengan membaca dia akan benar. Begitu dengan pria, harus bugar karena dia khalifah, dia harus memakmurkan bumi ini. inilah esensi dari pendidikan yang menyeluruh utnuk anak-anak.

Propisional dalam mendidik anak perempuan dan laki-laki berbeda
Salah satu yang utama dalam pendidikan awal anak-anak adalah mengenalkan anak kita pada Penciptanya. Maka hubungannya akan mesra dengan penciptanya. Kalau hubungan dengan penciptanya baik, maka habluminannas-ya juga akan baik. Mendidik anak laki-laki dan perempuan sebetunya sama saja, asal sesuai dengan perannya masing-masing, karena laki-laki itu jadi imam dan perempuan jadi madrasah.
Dua-duanya punya kewajiban asasi, dan mengemban tugas khalifah. Memang ada hadits yang mengatakan “jika engkau mempunyai tiga anak perempuan, dan dapat mendidiknya menjadi anak yang sholeh, maka surga pahalanya”. Tapi tidak lantas hadits ini membuat saya sedih karena saya belum dikarunia anak perempuan.
Justru ini harus menjadi semangat bagi para ibu yang memiliki anak perempuan untuk memberikan pemahaman yang tepat mengnai eksistensi perempuan di dunia ini. Anak-anak perempuan harus diberi pemahaman bahwa ibu adalah tiang Negara.
Perempuan itu memiliki banyak keistimewaannya sendiri, seperti ada surga di bawah telapak kakinya. Perempuan itu gambaran sebuah masyarakat. Sehingga perempuan dan laki-laki sama di mata Allah, tinggal bagaimana kita bisa membaca, mengambil hikmah, dan menjalankan kehidupan di dunia ini sebagaimana yang Allah mau.
Kita jangan seperti Bani Israil, beribadah sesuai selera kita, bukan selera Al-Qur’an. Nah, maksudnya kita harus membaca, tadabbur, dan memahami, mengingat-ingat apa yang Al-Qur’an ajarkan pada kita, dan mengamalkannya. Al-Qur’an itu juga banyak mendidik kita melalui kisah. 80% isinya kisah. Bagaimana mendidik anak, bagaimana gambaran istri sholehah, istri yang kafir, dilaknat Allah, ada yang dicintai, bagaimana kita berdagang, berjalan, itu semua sudah diatur oleh Allah.
Jadi sebenarnya buat saya, mendidik anak laki-laki dan perempuan itu sama. Saya mendidik mereka menjadi khalifah, saya mendekatkan mereka pada penciptanya, dan kita sebagai orang tuanya harus menjadi orang tua yang aman bagi mereka. Sebenarnya kita tidak perlu membuat mereka beriman. Allah sudah memberikan mereka bibit iman. Cuma ada yang mengingkari atau kafir, ada juga yang syahadat, mengakui. Jadi supaya dia ingat, diberilah peringatan, surat cinta.
Sebenarnya kita hanya membuat mereka menggali potensi mereka. Allah tidak pernah menciptakan manusia yang bodoh. Mereka punya kecerdasannya masing-masing. Kalau dalam bahasa psikologinya fitrah. Fitrah itu kecerdasan atau sifat ilahiyah. Manusia itu diberi sifat rahman, rahim, qudus, ‘alim, al-Qohar, dan lain-lain. Dari situlah orang tua bisa mengintip, tipe apa yang paling dominan.
Apakah dia al-Alim, apakah dia Al-Qohar? Kita cuma mengarahkan mereka ke bakat dan minat mereka. Jadi ibu itu kan sekolah, sekolah itu ada kepala sekolah, guru bahasa, guru matematika, cleaning service, kantin, ibu kantin, dan lain-lain. Seperti itulah ibu. Ibu harus bermitra dengan ayah dalam mendidik anaknya, sebagaimana Luqmanul Hakim menasihati sendiri anaknya dengan penuh cinta, yaa bunayya. Jadi laki-laki jangan menganggap anak itu hanya urusan ibu.
Bahkan Hasan Al-Banna menyiapkan sarapan anak-anaknya untuk memulai hari. Jadi suami istri harus solid untuk mendidik anak. Harus punya ilmu, harus punya parenting skill. Kita harus tahu komunikasi yang baik dengan anak-anak kita. Kita tidak bisa mendidik anak-anak kita sekarang seperti kita dididik oleh orang tua kita dulu. Rasulullah sudah mengatakan, didik anak sesuai dengan zamannya. Karena itu kita harus terus belajar. Ahmad

Konflik Rumah Tangga di mata K.H Didin Hafinuddin

K.H Didin Hafinuddin

Konflik Rumah Tangga: Jauhi Sikap buruk

Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (harmonis, bahagia dan penuh rahmat) adalah dambaan bagi setiap pasangan suami istri. Keluarga harmonis yang penuh rahmat itu pun bukan berarti tidak pernah menemui konflik. Tapi tidak sulit untuk menemukan rahasia besar keluarga ideal.
K.H Didin Hafinuddin mengatakan, rahasia keluarga ideal Islam itu tergantung pada sikap dan perilaku suami dan isteri dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga itu bukan sekedar tempat berkumpul suami isteri dan anak-anaknya, tetapi keluarga itu harus menjadi media baru dan sarana efektif dalam membina diri untuk menguatkan ketauhidan dan keimanan diri kepada Allah Swt. suami dan isteri harus senantiasa melaksanakan peran dan kewajibannya masing-masing sebagaimana yang ajarkan Rasul Saw.
Untuk lebih mengingatkan peran suami isteri dalam berumah tangga, Didin mengatakan. Kewajiban suami di antarnya adalah memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan keluarga, membantu peran istri dalam mengurus anak, menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan lahir batin, serta dunia akhirat, menyelesaikan masalah dengan bijaksana, tidak sewenang-wenang dan kasar.
Salah satu rujukan yang perlu diketahui para suami adalah. Rasulullah Saw. bersikap tawadhu’ (rendah diri) dihadapan istri-istrinya, sampai-sampai beliau membantu istri-istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga meskipun di tengah kesibukan beliau menunaikan kewajiban beliau untuk menyampaikan risalah Allah atau kesibukan mengatur kaum muslimin. Aisyah berkata, “Rasulullah Saw. dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat”. (H.R. Bukhari).
Dari Aisyah berkata, “Orang-orang Habasyah (Ethiopia) masuk kedalam masjid bermain, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada, “Wahai yang kemerah-merahan (maksudnya adalah Aisyah)[3], apakah engkau ingin melihat mereka?”, aku berkata, “Iya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdiri di pintu lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya dan aku sandarkan wajahku di pipinya…Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sudah cukup (engkau melihat mereka bermain)”, aku berkata, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru”, lalu beliau (tetap) berdiri untukku (agar aku bisa terus melihat mereka. Kemudian ia berkata, “Sudah cukup”, aku berkata, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru”. Aisyah berkata, “Aku tidak ingin terus melihat mereka bermain, akan tetapi aku ingin para wanita tahu bagaimana kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisiku dan kedudukanku di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah pun senantiasa menguatkan tali kasih sayang secara variasi dalam cara bermuamalah dengan istri. Berusaha menyenangkan hati istri adalah perilaku dan sikap yang dicontohkan Rasul, walaupun hanya dengan perkataan. Rasul Saw. bersabda, “Perkataan yang baik adalah sedekah”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana cara Rasulullah Saw. memberi nasehat dan arahan kepada istrinya, di mana beliau ingin agar Aisyah merasa bahwa ia tahu kapan Aisyah marah kepadanya dan kapan ridho kepadanya? Dari Aisyah berkata, “Rasulullah Saw. berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku tahu jika engkau sedang ridho kepadaku dan jika engkau sedang marah kepadaku”. Aku berkata, “Dari mana engkau tahu hal itu?”, beliau berkata, “Adapun jika engkau ridho kepadaku maka engkau berkata “Demi Robnya Muhammad”, dan jika engkau sedang marah maka engkau berkata, “Demi Robnya Ibrahim”! Aku berkata, “Benar, demi Allah wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak menghajr (marah) kecuali hanya kepada namamu”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu saat menafsirkan ayat: ِmenyatakan, “Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istri beliau. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak Aisyah Ummul Mukminin r.a berlomba lari, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173).
Sedangkan kewajiban isteri adalah mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh tanggung jawab, menghormati serta mentaati suami dalam batasan wajar, menjaga kehormatan keluarga, menjaga dan mengatur pemberian suami (nafkah suami) untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, serta mengatur dan mengurusi rumah tangga keluarga demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga.
Istri juga harus menjaga sikap dan perilaku kepada suaminya. Tak pantas seorang isteri bersikap dan berperilaku kepada suaminya dengan ucapan yang kasar, sikap membangkang, membantah dan mengumpat serta tinggi hati. Tak terkecuali apa pun status sosialnya, dari mana keturunannya, sekaya dan setinggi apa pun kedudukannya.
Isteri senantiasa menjaga kehormatan dan harta suami. Allah Swt. berfirman, “Maka wanita-wanita yangbaik itu ialah yang mentaati suaminya dan menjaga hal-hal yang tersembunyi dengan cara yang dipelihara oleh Allah.” (QS. An Nisa’:34). Dan Rasulullah Saw., “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri shalihah.” (H.R. Muslim).
Dan bukan istri yang digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Umar ibnul Khaththab r.a,“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan (harta yang disimpan) seorang lelaki, yaitu istri shalihah, yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan menaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.” (HR. Abu Dawud. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu menshahihkannya di atas syarat Muslim dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57).
Isteri wajib mentaati suaminya selama bukan untuk bermaksiat kepada Allah Swt sebab pahalanya amat besar. Al Bazzar dan Ath Thabrani meriwayatkan bahwa seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Saw. Lalu berkata, “Aku adalah utusan para wanita kepada engkau: jihad ini telah diwajibkan Allah kepada kaum laki-laki; jika menang diberi pahala, dan jika terbunuh mereka tetap hidup diberi rezeki oleh Rabb mereka, tetapi kami kaum wanita yang membantu mereka, pahala apa yang kami dapatkan?” Nabi Saw. menjawab, “Sampaikanlah kepada wanita yang engkau jumpai bahwa taat kepada suami dan mengakui haknya itu sama dengan jihad di jalan Allah, tetapi sedikit sekali di antara kamu yang melakukannya.”
Tuturan di atas hendak memberikan gambaran tentang indahnya rumah tangga seorang muslim yang memerhatikan akhlak mulia dalam pergaulan suami istri, sebagaimana rumah tangga Rasulullah Saw. Sehingga perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang istri.
Pondasi dasar untuk melaksanakan kewajiban tersebut, suami isteri senantiasa bertaqwa kepada Allah Swt. Semakin tebal ketaqwa’an, semakin tinggi kemampuannya merasakan kehadiran-Nya dalam rumah tangganya. Untuk itu visi utama berumah tangga adalah taat kepada Allah Swt., yakni istiqomah dalam menjalankan ibadah dan beramal shaleh.
Maka dengan ketaqwaan akan lahir sikap dan perilaku yang diajarkan Rasul Saw. Firman Allah SWT didalam Al Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istreri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Islam menghendaki hubungan suami isteri adalah hubungan yang sangat erat, hubungan yang melengkapi ruhani dan jasmani yang kokoh dan berada dalam pengaharapan ridha-Nya. Oleh karena itu, segala jalan konflik yang dapat merenggangkan ikatan yang suci bagi kedua suami isteri itu hendaklah dicegah dan dihindarkan dengan segala daya dan usaha yang kuat dengan menunjukkan sikap dan perilaku yang terpuji. Ahmad


Hj. Lenny Umar

Hindari Konflik Rumah Tangga dengan Ibadah
 
Menurut mubaligah Hj. Lenny, konflik antara suami dan istri adalah faktor peretak rumah tangga yang akan membuat sirna harapan mereka untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, warahmah dan mawadah. Faktor penyebab yang paling memungkinkan terjadinya konflik antara suami dan istri.
Pertama, kondisi ekonomi rumah tangga. Keadaan ekonomi rumah tangga dinilai sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara suami istri. Kebutuhan yang mendesak tetapi pendapatan yang pas-pasan acapkali menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga.
Dalam rumah tangga Islam, baik suami maupun isteri jauh dari sikap mengeluh dan putus asa dalam kondisi apa pun. Tak terkecuali dalam menghadapi kehidupan ekonomi yang pas-pasan. Isteri sebagai pengelola keuangan keluarga memang perlu mengatur pengeluaran dan pendapatan secermat mungkin.
Dengan hati lapang dan sabar, isteri senantiasa menjalani kewajibannya tanpa memiliki rasa kesal dan benci terhadap pendapatan suami. Walaupun  dirasa pas-pasan, sikap isteri senantiasa mesra dan penuh kasih sayang dalam melayani suami dan anak-anaknya.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah yang ada di hati” (HR. Bukhari Muslim)
Salah satu hakikat sabar dalam bahtera rumah tangga adalah menghilangkan keluh kesah pada saat tidak enaknya menghadapi segala kekurangan. Tidak ada keluh kesah selain pada Allah Swt. isteri tipe ini selalu mensyukuri keadaan ekonominya dalam setiap doanya.
Sebab ia tahu bahwa Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim : 7)
Dalam sikap dan perilaku sabar dan bersyukur yang ditunjukkan isteri, semestinya suami harus semakin termotivasi untuk mencari rejeki. Dalam dirinya muncul semangat untuk lebih menjadi giat dan memaksimalkan ikhtiar untuk menjemput rezeki dar-Nya.
Maka suami isteri harus berupaya istiqomah. Allah berfirman, “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (Al-Jin : 16)
Selanjutnya berinfak dan bershadaqah. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada satu haripun yang berlalu kecuali ada dua malaikat yang turun, satu malaikat berkata, Ya Allah, berilah kepada orang yang berinfak di hari ini ganti untuknya. Dan malaikat yang lainnya berkata, Ya Allah berikanlah kerugian kepada orang yang tidak berinfak di hari ini.” (HR. Bukhari Muslim).
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,“Sesungguhnya shodaqoh itu tidak pernah mengurangi harta.” (HR. Bukhari Muslim). Dan berbuat baik kepada orang-orang yang lemah. Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw., bersabda, “Tidaklah kalian itu mendapatkan rizky dan mendapatkan pertolongan kecuali kalau Bukhari).
Kedua, perselingkuhan dan penyelewengan. Kasus ini sering dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya konflik berkepanjangan. Jangankan sudah terjadi perselingkuhan, baru sebatas dugaan dan indikasi yang belum jelas pun kurang-kurangnya dapat memicu terjadinya konflik yang serius. Sebab hal ini menyangkut soal hati dan kepercayaan.
Dalam al-Quran dan Hadist Sahih Bukhari Muslim tentang selingkuh berkaitan dengan keterangan seputar zina. Dalam Islam, perbuatan mendekati zina dilarang apalagi sampai zina sungguh sangat dilarang  oleh Allah, sesuai dengan firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Q.S. Al Isra  32)
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina padahal ia sudah menikah, membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin)’.” (H.R Bukhari dan Muslim).
Kedua keterangan tersebut menegaskan bahwa perbuatan selingkuh, baik selingkuh mata, selingkuh perasaan dan hati bahkan selingkuh yang mengarah kepada perbuatan zina merupakan perbuatan tercela. Sebab mana mungkin rumah tangga akan dipenuhi dengan kasih sayang, ketenangan dan kebahagiaan yang diramatai Allah Swt, apabila satu dari pasangan suami isteri telah menodainya dengan perbuatan selingkuh seperti itu.
Konflik yang berdasarkan masalah selingkuh atau menyeleweng acap kali berujung kepada perceraian. Sedikit sekali yang dapat bertahan karena sebab ini. rasa ketidak percayai, rasa dendam, rasa takut dibohongi dan sterusnya akan selalu membayang-bayangi salah satu pihak apabila pasangannya pernah melakukan perselingkuhan.
Oleh sebab itu, suami maupun isteri harus bernar-benar taat kepada Allah Swt. sehingga iman dan taqwanya akan menjadi benteng dari perbuatan terhina itu. Selain itu, suami isteri harus senantiasa berkomunikasi untuk menguatkan tali hati dan kedekatan agar senantiasa diliputi rasa kasih sayang yang tidak semu. 
Keluarga sakinah, warahmah dan mawadah itu di dalamnya tidak saling mendustai, tidak ada cinta semu, tidak pernah menutup-nutupi sesuatu hal dan senantiasa takut kepada Allah Swt karea Dia adalah maha Melihat dan Mendengar.
Ketiga, anak. Anak memang sering menjadi penyebab terjadinya konflik suami dan istri. Sebagian besar menilai bahwa tingkah laku dan kenakalan anak memang mendasari setiap kasus perselisihan mereka.
Adapun yang bertanggung jawab penuh terhadap perilaku si anak adalah orang tua sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw., "Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya lah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi." (H.R.Bukhari).
Hadits lain menyatakan, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Maka tergantung kedua orang tuanya, hendak membentuk anak-anak seperti apa. Apabila anak thaleh (salah) dan selalu menyusahkan bersegeralah menyadari bahwa suami atau isteri yang menjadi orangtua mereka telah melalaikan pengasuhan dan pendidikan secara Islami. Sebab anak yang shaleh lahir dari orang tua yang shaleh juga.
Islam mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya anak itu adalah amanah Allah Swt. yang harus dibina, dipelihara dan di didik secara seksama dan sempurna. Setiap orang tua tentunya ingin agar anaknya menjadi insan kamil yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Oleh sebab itu, orangtua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Mereka harus diajarkan akidah, tauhid, berakhlak dan beribadah sejak dini. Sebab sangat sulit mendidik anak yang sudah berusia remaja dan dewasa. Apabila sudah terlanjur anak selalu menjadi sosok yang menyusahkan. Suami maupun isteri tidak perlu saling menyalahkan.
Isteri dan suami harus cepat-cepat sadar akan kekurangan dan kekhilapan dan segera memperbaiki keadaan. Senantiasa meminta petunjuk dan pertolongan kepada Allah Swt. Agar anak-anak menjadi perhiasan kehidupan dunia yang akan menyenangkan hati. Sebagaimana firmanNya, "Harta benda dan anak-anak itu sebagai perhiasan hidup di dunia" (Q.S. Al Kahfi ayat 46), dan dalam firman-Nya lain, "Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami (agar) istri kami dan anak cucu kami sebagai penyejuk pandangan mata" (Q.S. Al-Furqon ayat 74).
Keempat, pihak keluarga lain. Pihak keluarga lain juga dinilai sebagai pemicu terjadinya konflik antara suami dan istri. Mertua dan anggota keluarga lain sering menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara suami dan istri. Kemungkinan yang paling besar bisa terjadi terutama bila mereka hidup dalam satu atap (mertua dan keluarga utamanya).
Saudara, orangtua atau pihak lain boleh jadi bias menjadi pemicu konflik rumah tangga. Pada dasarnya, dalam menjalankan tugas-tugasnya dan memecahkan konflik rumah tanggga, suami istri hendaknya selalu mengambil jalan musyawarah untuk mencapai solusi terbaik bagi seluruh anggota keluarga.
Apa dan dari mana pun timbulnya masalah, bukanlah perkara yang terlalu harus dipersoalkan. Justru cara dan pendekatan yang baiklah yang perlu dilakukan untuk mencari jalan penyelesaian. Islam mengajarkan kelembutan dan ketenangan dalam menyelesaikan masalah, bukan dengan menggunakan emosi dan perasaan belaka.
Kedudukan suami dalam keluarga pun sesuai dengan fitrahnya dan tanggung jawabnya, adalah kepala dan pemimpin keluarga, maka harus bertanggung jawab atas baik buruknya keluarga. Imam rumah tangga harus mampu bersikap bijak dan adil, tidak semena-mena dalam memberikan keputusan. Begitu juga peran dan tanggung jawab isteri.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Tahrim ayat 6 yang artinya,”hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Dengan kata lain, suami isteri harus mampu menjaga diri sendiri dan keluarganya dari perbuatan keji dan mungkar yang dibenci Allah, dan senantiasa melakukan amalan baik dan saling menasehati dalam hal kebaikan.
Komitmen menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga perlu berlandaskan semata-mata bertujuan ibadah kepada Allah Swt. sehingga disadari betapa hidup menjadi suami isteri dalam jalinan keluarga adalah perjalanan yang sama-sama dilewati dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71).
Untuk mewujudkan semua itu kuncinya adalah suami dan isteri harus tafahum (saling memahami), ta’awun berarti saling menolong, dan takaful (penyeimbang) dalam segala hal dan dalam kondisi apa pun yang sekiranya keduanya tetap dalam ketaatan kepada Allah Swt. Ahmad